Kebijakan pemanfaatan gas bumi diprioritaskan untuk dalam negeri, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, porsi gas untuk ekspor tentu akan menurun seiring naiknya pemanfaatan gas dalam negeri tersebut.
Kementerian ESDM mencatat, per April 2019, porsi pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri mencapai 64%. Sebaliknya ekspornya turun menjadi 36%.
Pemanfaatan domestik tersebut secara rinci untuk industri sekitar 25%, pupuk 12,2%, kelistrikan 11%, LNG domestik 10,6%, lifting minyak 3,2%, LPG domestik 1,7%, bahan bakar gas 0,14% dan pipa gas kota 0,07%.
Pertama kali porsi gas domestik lebih besar dari ekspor terjadi pada tahun 2013, yakni sebesar 53%. Hingga saat ini porsi gas domestik tersebut terus meningkat dan bisa signifikan mencapai 64%.
Bila kita tengok ke belakang, data 10 tahun yang lalu atau tahun 2009 porsi pemanfaatan gas domestik hanya 47%, bahkan tahun 2003 hanya sebesar 25%.
“Memaksimalkan sumber energi domestik untuk pemanfaatan dalam negeri merupakan bagian dari meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional,” ungkap Agung Pribadi Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Minggu (19/5).
Tak hanya gas untuk prioritas domestik, imbuh Agung, begitu pula dengan minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya untuk ekspor, kini telah diserap maksimal oleh domestik alias Pertamina.
Pertamina menyebut, hingga pertengahan Mei 2019 (14/5), sebesar 135 ribu barel per hari (bpd) minyak mentah para KKKS telah diserap Pertamina. Bulan Juli 2019 nanti, ditargetkan seluruh 225 ribu bpd minyak mentah KKKS dapat diambil sepenuhnya oleh Pertamina.
Sesuai Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa kemandirian energi dan ketahanan energi dicapai dengan mewujudkan sumber daya energi yang tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional.
“Kalau mau mengurangi defisit neraca perdagangan migas, bisa saja gas dibiarkan diekspor terus. Tapi bukan itu kebijakan energi nasional kita. Gas itu bukan hanya sekedar komoditas ekspor, tetapi harus sebagai modal pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Agung.
Sebagaimana diketahui untuk pengurangan defisit neraca migas telah dilakukan kebijakan pencampuran biodesel sebesar 20% dalam solar atau dikenal dengan kebijakan B20. Kebijakan yang mulai diintensifkan sejak September 2018 tersebut kini telah menghemat devisa signifikan sekaligus mengurangi impor Solar.
Bahkan bulan Mei 2019 ini, Pertamina bisa menyetop impor solar, karena kebijakan B20 telah berjalan dengan baik. (ist)