Produksi minyak terancam turun pada 2019 karena peralihan operator dan kontrak kerja sama dari cost recovery menjadi gross split yang berakhir pada 2018.
Seperti dikutip Bisnis.com, Pemerintah telah menunjuk PT Pertamina (Persero) untuk mengelola delapan wilayah kerja yang akan habis masa kontraknya pada 2018. Adapun, pada enam wilayah kerja di antaranya Pertamina sebagai pemain baru karena tak terlibat dalam pengelolaan pada masa kontrak sebelumnya.
Kedelapan blok yang ditugaskan kepada Pertamina yaitu Blok Tuban, Jawa Timur (JOB Pertamina-PetroChina East Java); Blok Ogan Komering, Sumatra Selatan (JOB Pertamina-Talisman); Blok Sanga-Sanga, Kalimantan Timur (Virginia Indonesia Oil Company LLC/VICO); Blok Southeast Sumatera (SES), Lampung (CNOOC SES Limited); Blok North Sumatera Offshore, Aceh (Pertamina); Blok Tengah, Kalimantan Timur (Total E&P Indonesie); Blok East Kalimantan, Kalimantan Timur (Chevron Indonesia Company) dan Blok Attaka, Kalimantan Timur (Chevron).
Pada Blok Attaka, komposisi kepemilikan saham partisipasi (participating interest/PI) sebesar 50% dikuasai Chevron Indonesia Company dan sisanya oleh Indonesia Petroleum (Inpex). Di Blok SES, CNOOC SES Ltd menguasai PI sebesar 65,54%, Inpex Sumatera 13,07%, CNOC Sumatra Ltd sebesar 8,91%, Talisman UK Southeast Sumater Ltd 7,48% dan Risco Energy Pte Ltd 5%.
Selain itu, terdapat Blok East Kalimantan yang 100% PI dikuasai Chevron Indonesia Company dan Blok Sanga-Sanga komposisi saham partisipasi sebesar 26,25% dikuasai BP East Kalimantan, LASMO Sanga-Sanga 26,25%, Virginia International Co sebesar 15,62%, Upicol Houston Inc 20% dan Universe Gas&Oil Company Inc 4,37%. Pada 2016, Saka membeli saham partisipasi BP melalui BP East Kalimantan sebesar 26,25% di Blok Sanga-Sanga.
Analis Hulu Migas dari Wood Mackenzie Johan Utama mengatakan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split mendorong efisiensi biaya agar proyek memberi keuntungan lebih. Di sisi lain, secara umum pengelolaan lapangan tua (mature field) membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mempertahankan produksi.
Menurutnya, jumlah sumur-sumur yang tak diaktifkan bisa saja bertambah bila biaya pengembangannya tak sesuai keekonomian. Penurunan produksi, katanya, menjadi risiko yang otomatis harus diperhitungkan. Risiko bertambah karena selain adanya peralihan dari PSC cost recovery menjadi PSC gross split terdapat juga peralihan operator.
Dalam laporan Wood Mackenzie, diperkirakan produksi minyak di Asia Pasifik akan merosot sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada 2020. Adapun, kontribusi terbesar berasal dari China yakni 47% atau 470.000 bph, Indonesia 27% atau 270.000 bph, Thailand dan India 8% atau 80.000 bph, Malaysia 4% atau 40.000 bph dan negara lainnya sebesar 7% atau 70.000 bph.
“Terdapat kemungkinan beberapa lapangan terlalu mahal untuk melakukan perawatan. Bila itu terjadi, beberapa lapangan akan di-nonaktifkan lebih awal dan kita akan melihat penurunan produksi yang lebih cepat,” ujarnya saat dihubungi Bisnis pada Jumat (27/1). (ist)