PRAKTISI media massa menyampaikan keprihatinannya akan ancaman krisis energi yang membayangi Indonesia akibat menurunnya produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional.
Ketua Forum Pemimpin Redaksi Suryopratomo mengatakan saat ini Indonesia perlu mengambil terobosan baru untuk meningkatkan minat investasi di sektor hulu migas.
Hal itu disampaikan pada acara diskusi yang bertajuk Masa Depan Hulu Migas: Mencari Win-win Solution untuk Mendorong Investasi Hulu Migas yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group, Selasa (31/1) lalu.
“Sekarang adalah waktu yang krusial bagi kita untuk bisa bertahan atau kita tidak akan pernah bisa mengeksploitasi kekayaan alam yang dimiliki,” ujar Suryopratomo.
Dia mengatakan sudah beberapa tahun ini nyaris tidak ada investasi yang berarti di industri migas, sementara produksi migas dalam sepuluh tahun ke depan dipastikan akan terus menurun.
Selain menghadirkan ancaman krisis energi, penurunan produksi migas di tengah kebutuhan yang semakin meningkat juga akan menyedot devisa yang besar.
Apabila harga minyak naik kembali dalam 10 tahun ke depan, tingginya harga minyak di tengah tingginya impor akan mengganggu defisit neraca transaksi berjalan.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas Taslim Z Yunus mengatakan saat ini memang kesenjangan antara produksi migas dengan konsumsinya memang semakin melebar setelah Indonesia menjadi net importer minyak di tahun 2004.
Selain minimnya investasi untuk eksplorasi cadangan migas baru, industri hulu migas juga menghadapi masalah lamanya waktu yang dibutuhkan dari penemuan cadangan ke tahapan produksi.
“Proses bisnis dalam perizinan hulu migas memakan waktu yang tidak sebentar,” ujar Taslim.
Menurutnya, secara geologi, Indonesia sebenarnya masih memiliki potensi migas yang besar. Saat ini masih ada 74 cekungan yang belum dieksplorasi. Beberapa struktur baru juga masih ditemukan di dekat Lapangan Tangguh di Papua. “Secara geologi, kami masih optimis,” ujar Tasllim. (sak)